Jani, zhi ren shan e, zhang mu fu! (mengetahui karakter orang akan menjamin kestabilan keuangan bisnis mu!)
Teriakan itu selalu membuat tidur ku tak nyenyak setiap hari, bahkan lantunan lullaby dari Frank Sinatra pun sudah tidak bisa menjadi obat atas rentetan mimpi buruk ku, sepertinya Tuhan sudah memberikan isyarat Nya bahwa jalur yang dipilih oleh Baba sudah membelenggeku bertahun tahun hingga alam bawah sadar ku sendiri sudah menolak dan meminta jasadku untuk memberontak, karena bisnis keluarga bukanlah tujuan hidup ku.
Pemberontakan ini kumulai dengan keluar dari perkuliahan bisnis tanpa meminta perizinan dari Baba. Tawa kecil dalam hati ku mulai terkikik mengingat Baba akan melabeli ku sebagai anak yang tidak tahu rasa terima kasih dan bersyukur karena ia telah mendonasikan penghasilannya agar anak badung ini bisa mendapatkan masa depan yang cerah dengan kuliah di jurusan bisnis manajemen ternama di Kota Parahyangan ini, namun tawaran masa depan yang cerah dengan berbisnis ini rasanya belum bisa memikat hati anak badung ini yang hanya ingin mengunci diri di kamarnya dan bermain dengan warna warni di kanvas yang ia sembunyikan dari Baba. Lalu, setelah keluar dari bangku perkuliahan yang melulu tentang duit ini, aku akan sesegera mungkin mengemasi barang ku dan melarikan diri ke Yogyakarta untuk menentukan jalur ku sendiri tanpa bayang bayang bisnis Baba.
Akhirnya, hari pemberontakan yang sudah kurencanakan sejak lama pun tiba, ku tulis surat yang secara jelas menentang bahwa :
JANITRA, 19 TAHUN SECARA TEGAS MENOLAK UNTUK MELANJUTKAN BISNIS KELUARGA DAN MELARIKAN DIRI UNTUK MENJADI SENIMAN SEUTUHNYA!
Surat itu kuselipkan di foto masa kecilku lalu tanpa basa basi ku suruh Ahiong mengendarai vespa buluk nya dari Dago menuju ke Stasiun Kiara Condong untuk menaiki kereta Pasundan. Dengan bekal Rp. 300.000,00 donasi dari Ahiong, ku habis kan Rp. 94.0000,00 nya untuk membayar tiket kereta yang akan membawa ku ke suatu perjalanan yang akan merubah fase hidupku dengan menanggalkan marga keluarga ku Tan Soe Gie dan hanya menjadi Janitra seorang yang hidup sendiri layaknya seorang pertapa dan hidup tanpa ada bayang bayang bisnis Tan yang terus menghantui nya tiap hari.
Riuhnya penumpang Pasundan selama delapan jam perjalanan pun belum bisa menghentikan ku dari bayang bayang Baba yang terus menerus menghantui ku, di mimpi ku secara berulang ulang terdapat gambaran Baba yang secara tegas menyuruhku untuk pulang dan melanjutkan bisnis keluarga karena Baba percaya bahwa jika bisnis dilanjutkan oleh keluarga sendiri maka keuntungan bisnis Baba akan terus bertambah dan Baba tidak perlu khawatir karena ia sudah mempercayakan bisnis nya kepada anak nya sendiri. Namun, mimpi itu akhirnya usai ketika aku terbangun dan mendengar suara pengumuman bahwa kereta ku telah berhenti di Stasiun Tugu Yogyakarta, kota pelarian ku dari Baba.
Sebelumnya,di kereta pun aku sudah berfikir bahwa sesampainya di Kota Yogyakarta aku akan menelfon teman ku bernama Dewa yang dahulu juga melarikan diri dari sekolah bisnis untuk belajar seni kontemporer di Yogyakarta, tetapi sepuluh menit pun telah berlalu, Dewa tak lantas memberikan kabar, aku pun memutar otak agar dapat terus bertahan hidup tanpa mengenal seseorang pun di kota ini.
Aku berjalan menuju Daerah Mantrijeron karena dahulu terdapat artikel yang mengatakan bahwa terdapat galeri seni kontemporer pertama di Yogyakarta yang bernama Galeri Cemeti, aku berharap ada seniman yang sudi menampungku untuk mempelajari seni. Artikel tersebut sudah mengantarkan ku ke daerah Mantrijeron yang sudah kuimpikan sejak lama hingga mata ku membelalak lebar dan senyum ku tersungging hingga aku melupakan perut ku yang sama sekali belum diisi karena menghemat uang donasi Ahiong agar aku bisa ke Yogya.
Langkahku tak terhenti, menghiraukan perut ku yang mulai keroncongan ini hingga kerindangan taman Galeri Cemeti pun seakan menyapaku dengan lantang :
Selamat Janitra sekarang inilah rumah mu, tempat kau bernaung yang selalu menerima mu apa adanya dan tidak pernah memaksakan kehendak nya padamu.
Aku terduduk diam di bangku yang disediakan galeri Cemeti yang bertuliskan :
“Untuk merenung”
Ditemani pepohonan yang rindang, bunga aster,melati,bougenville serta akar yang menjalar di sepanjang pohon. Tiang tiang tua yang kian lapuk karena jalaran akar pohon. Di taman ini kurasakan kesejukan yang sudah lama tidak kutemukan di hiruk pikuknya gedung gedung baru yang menjulang tinggi di kota Bandung seakan membuat lamunan ku semakin merasa ringan.Di sekelilingku sekarang, angka sudah tidak menjadi kawan ku, namun lukisan dan instalasi seni telah menemani hidup ku, ku lihat warna warni bukan hanya hitam di atas putih layaknya kehidupan ku di Bandung yang monoton.
Kusapa seniman seniman yang sedang melakukan residensi dengan hangat, mereka pun membalas salam ku hingga akhirnya bersedia untuk bertukar pengalaman satu sama lain, aku terkejut dengan keramahan mereka yang luar biasa menjawab pertanyaan ku dengan antusias walaupun aku hanya sekedar ingin bertukar pikiran dengan mereka.Lambat laun, aku hanyut dengan cerita perjuangan mereka agar dapat lolos residensi seniman dan mengabdikan diri seutuhnya untuk seni kontemporer di Galeri Cemeti dan setelah mendengar perjuangan mereka, akhirnya ku yakinkan diriku untuk mengikuti serangkaian tahap untuk dapat lolos residensi seniman dan mereka bersedia untuk menampungku di kediaman para seniman yang sedang melakukan residensi di galeri tersebut,
Aku merasa Tuhan telah mengirimkan malaikat nya untuk turun ke dunia menyelamatkan anak Nya karena mereka tidak hanya sudi untuk menampung ku di kediaman residensi mereka tetapi mereka juga mengangkat ku menjadi anak asuh mereka karena merasa kasihan dengan anak badung ini yang melarikan diri ke Yogya tanpa sepeser uang pun dari orang tua nya dan memiliki tekad yang kuat untuk menjadi seniman walaupun dia sering merasa bahwa dia hanyalah seorang air seni dibandingkan seniman mumpuni yang ada di galeri ini.
Sekarang jadilah aku Janitra, anak badung yang mencoba menjadi seniman dengan sok sok an membuat lukisan yang bahkan tidak lebih bagus dari coretan anak TK jika teringat gertakan Baba saat aku mulai mencoba belajar melukis di kanvas, tapi gertakan itu tidak akan menghentikan goresan kuas ku di kanvas. Sama halnya gertakan Baba setiap hari nya, kritikan pedas dari seniman senior pun ku terima dengan lapang hati, karena di balik setiap kata kata kotor yang keluar untuk menghujat karya ku, aku yakin bahwa mereka berniat untuk membangun mental ku menjadi seniman yang tidak bermental tempe belaka karena dunia seni kontemporer tidak segemerlap yang ada di stigma orang orang masa kini yang di cap para seniman mumpuni sebagai generasi kebelet artsy.
Ha..ha kebelet artsy? istilah apalagi itu? Istilah itu diciptakan oleh para senior seniman yang membimbingku karena sudah terlalu banyak fenomena generasi muda yang memberikan label pada diri mereka sebagai seorang seniman muda, namun mereka selalu melupakan intisari dari seni kontemporer sendiri yang merefleksikan isu yang ada di masyarakat dan menyuarakan opini mereka melalui karya, sehingga karya seni tidak hanya menjadi pemuas estetika belaka, namun juga dapat menjadi media kritik atas isu yang terjadi di masyarakat. Sehingga, mereka menempa para seniman muda melalui residensi seniman ini dengan keras agar mereka menjadi agen perubahan bagi masa depan Indonesia melalui karya seni mereka.
Seiring berjalannya waktu, residensi seniman berjalan dengan lancar. Aku telah tinggal di dalam kehidupan yang kuidam idamkan sejak kecil, yaitu hidup bersama para seniman yang telah menggantikan peran orang tua ku di Bandung, bertemu para turis layaknya kurator seni untuk membicarakan hasil karya ku atau pengalaman residensi seniman, serta aku bisa melukis sesuka hati ku di kanvas tanpa harus mencari tempat persembunyian lagi dari Baba. Hidup ku telah sempurna sekarang! Tetapi layaknya keindahan pelangi yang sementara, badai seakan menerpa tiba tiba, manajemen Galeri Cemeti mengabariku bahwa lantai atas galeri yang dijadikan kediaman untuk seniman yang melakukan residensi akan di renovasi hingga kita diharuskan mencari tempat tinggal masing masing karena renovasi akan memakan waktu satu tahun penuh.
Kebanyakan, para seniman yang berasal dari Eropa memilih untuk menempati homestay yang terletak di Prawirotaman walaupun cukup mahal bagi mereka, yaitu berharga sekitar Rp. 200.000,00-Rp. 500.000,00Mereka memilih untuk tinggal di homestay tersebut karena berjarak sangat dekat dengan galeri galeri seni lainnya. Mereka pun, mengajakku untuk menempati homestay tersebut, namun aku tidak mempunyai uang sebanyak mereka dan aku pun menolak ajakan mereka secara halus dengan berkata bahwa aku akan tinggal sementara bersama sanak saudara karena aku tidak mau membuat repot mereka, karena pada akhirnya mereka akan menanggung biaya hidup ku lagi. Pih! aku tidak mau menjadi seorang pengemis lagi, sebenci benci nya aku dengan Baba, aku tetap mengingat pesan Baba untuk menjadi manusia yang bisa berdiri di atas kaki sendiri dan tidak menyadarkan kehidupan kita pada pada orang lain, aku harus bisa menghidupi diri ku sendiri!
Ku baca lembaran lembaran koran yang kupakai untuk membungkus baju ku, walaupun pikiran ku sedang kacau memikirkan keberlangsungan hidup ku, aku masih dapat bersyukur bahwa hidup ku belum se rumit polemik yang ada di negeri ini yang tidak kunjung usai. Aku tertawa kecil membaca koran pagi itu, betapa lucu nya negeri ini yang tidak pernah mendakwa para koruptor di kursi pesakitan dan menjebloskan mereka ke hotel rodeo, padahal mereka sering menjebloskan para rakyat yang kurang duit, difitnah sedemikian kejamnya di kursi pesakitan tanpa adanya perlindungan hukum hingga dijebloskan di hotel rodeo layaknya binatang yang di kurung di kebun binatang dan tidak pernah mendapatkan kebebasan yang terus di koar koar kan oleh negeri yang berlabel demokratis ini. Ah, setidaknya aku bisa bersyukur, aku bukanlah orang tersebut, lantas ku balik lembaran koran selanjutnya yang berisikan iklan iklan yang menawarkan lapangan kerja dengan iming iming gaji yang menggiurkan hingga ku temukan bahwa Galeri Langgeng Art Foundation yang tidak jauh dari Galeri Cemeti menawarkan pekerjaan sebagai designer katalog pameran dan manajemen kuratorial pameran, tidak pikir panjang lebar aku langsung berjalan menuju Galeri Langgeng Art Foundation untuk mendaftarkan diri dan mengikuti serangkaian tahap untuk dapat diterima di posisi tersebut, dan hasilnya sangat mengejutkan karena aku tidak hanya diterima sebagai designer katalog dan manajemen kuratorial pameran, namun juga sebagai pelayan Langgeng Resto yang juga ada di galeri tersebut, karena aku dengan nekat menawarkan diri sebagai pelayan di waktu senggang ku ketika tidak ada pameran di Galeri Langgeng.
Tentu saja Mbak Citra sebagai manajer dan kurator Galeri Langgeng Art Foundation tertawa terbahak bahak, karena baru kali ini ia mendapati bahwa terdapat seniman residensi sepertiku yang mau menjadi pelayan restoran di waktu senggangnya, hal ini sangat satir menurutnya karena banyak seniman yang memilih untuk berkontemplasi di waktu senggangnya untuk memikirikan karya yang akan ia buat daripada mencari pekerjaan kasar lainnya. Tetapi, aku tetap mengambil pekerjaan tersebut agar dapat terus bertahan hidup di Yogyakarta walaupun mereka melabeli pekerjaan seorang pelayan hanyalah sebagai pesuruh belaka.
Jadilah sekarang Janitra memiliki tidak hanya satu titel sebagai seorang seniman residensi, tetapi juga sebagai designer,manajer kuratorial pameran, dan juga pelayan yang tinggal sebagai juru kuncen Langgeng Art Foundation. Dengan seiringnya bertambah titel ku ini, jam kerja ku pun juga turut bertambah. Di pagi hari aku mengikuti seminar residensi lalu di siang hari aku melanjutkan aktivitas ku dengan rapat manajemen kuratorial pameran, dan di sore hingga malam hari aku bekerja menjadi seorang pelayan di Langgeng Resto. Pekerjaan ku belum berhenti ketika aku usai menjadi pelayan di Langgeng Resto, karena aku harus menyelesaikan design katalog pameran ku di malam hari, hingga akhirnya aku dapat beristirahat di pagi hari pada pukul 05.00 dan memulai hari ku kembali pada pukul 07.00.
Cukup berat memang jika dirasakan, tapi aku anggap semua pekerjaan ini adalah tempaan Tuhan agar aku menjadi manusia yang tidak mudah putus asa dan selalu bekerja keras, setiap hari ku laksanakan tugas ku dengan optimal bahkan banyak orang mengatakan bahwa aku melakukan pekerjaan ku terlalu sempurna karena sifatku yang cenderung perfectionist dan tidak mudah merasa puas, tetapi karena dua sifat ku tersebut banyak seniman meminta ku untuk men design katalog mereka serta mengurus berbagai macam hal mengenai kuratorial pameran yang ada di Galeri Langgeng Art Foundation.
Sebagai manajer dari Galeri Langgeng Art Foundation pun, Mbak Citra sangat puas dengan hasil kerja ku, hingga suatu saat ketika aku masih membersihkan kursi dan meja restoran, Mbak Citra memanggilku dan berkata :
“Jani, taruh lap meja mu! Sekarang kamu tidak membutuhkan lap itu untuk bertahan hidup di Yogyakarta, kamu telah diangkat sebagai kurator seni tetap di Galeri Cemeti, sekarang tanda tangani kontrak ini untuk menyelesaikan semuanya, jangan lupa untuk selalu bekerja sama dengan galeri kami ya!”
Apakah ini mimpi? Ku tampar pipi ku berulang kali, hingga Mbak Citra tertawa terbahak bahak karena kepolosan ku, ia meyakinkan ku sekali lagi bahwa mimpi ku menjadi seniman sekaligus kurator seni telah terwujud, namun hati ku berkata bahwa mimpi ku belum lengkap karena aku belum bisa membagi mimpi ku dengan Baba dan Ama.
Ku telfon mereka namun tiada jawaban yang kuterima, ah mungkin mereka telah melupakan ku dan mencoret nama ku dari daftar keluarga mereka! Ku banting gawai ku dan mulai melupakan mereka sekali lagi dan menghanyutkan kesedihan ku dengan kebahagiaan bersama keluarga baru ku di Galeri Cemeti dan Galeri Langgeng Art Foundation.
Dua tahun berlalu tanpa menerima kabar sedikitpun dari Bandung namun aku tidak terlarut dalam kekosongan tanpa adanya Baba dan Ama di sisi ku, karena semua kolega ku telah menjadi subsitusi atas afeksi keluarga. Ku tenangkan pikiran ku sekali lagi di bangku refleksi Galeri Cemeti sambil membaca setumpuk surat yang masuk ke kotak pos. Perasaan was was mulai terbesit ketika terlihat alamat Cimahi Bandung di pojok surat yang masuk, hingga tangis ku mulai pecah dan semua kolega ku mendatangi ku, Baba mengirimkan sepotong artikel berjudul :
Janitra, Kurator Seni Baru Galeri Cemeti Mengaku Berlabel Air Seni Pada Awalnya.
Tidak hanya itu Baba juga mengirimkan ucapan selamat dan sebuah lukisan dan artikel yang bertuliskan :
Tan Soe Gie, perintis seni kontemporer Kota Parahyangan memutuskan untuk melanjutkan bisnis keluarga untuk bertahan hidup bersama tiga putrinya di tengah krisis moneter 1997, hingga akhirnya surat itu lah yang membawaku pulang ke Bandung kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar