Dawai dawai gitar yang ia petik mulai terdengar sumbang ketika lamunan nya melayang kepada masa lalu nya sebagai gadis yang luluh hati nya lalu bersedia tidur satu ranjang hingga akhirnya ia harus melepaskan gelar kebangsawanan nya dan meninggalkan kemewahan yang meliputi raga nya.
Tidak terasa, sudah tiga tahun lamanya ia bermartomofosa dengan ageman nya yang baru, bertolak ke Bedugul dan terlahir kembali sebagai manusia yang menanggalkan adharma dan berbuat dharma pada sesama. Namun, nada nada sumbang mulai terdengar kembali mengingat kepayahannya untuk beradaptasi pada identitas baru nya yang sangat bertolak belakang dengan latar belakang keluarga nya yang memegang erat Budaya Jawa di Yogyakarta, meskipun demikian terselip rasa bahagia karena ia terlepas dari belenggu adat istiadat dan sistem patriarki yang dianut keluarga nya turun temurun dan ia dapat memilih kekasih hatinya atas kehendak sendiri.
Gadis itu bernama Gendhis, anak bungsu yang lahir dari rahim seorang ibu berdarah biru yang sekarang telah diberikan label sebagai anak pembangkang karena telah menolak pilihan orang tua nya dan memilih untuk bertolak ke Bali mengikuti kekasih hati yang ia pilih sendiri. Namun, akhirnya pelangi Gendhis telah berpudar warna nya digantikan oleh kelabu hitam karena ekspetasi nya yang melambung terlalu tinggi ketika ia menapaki kehidupan baru nya di Bali.
Di tahun pertama, telinga nya terus mendengung seakan membisikkan kata kata dalam Bahasa Bali yang tidak ia mengerti terus menerus, bahkan ketika terlelap pun telinga nya masih membisikkan kata kata asing dan mereka terus berkeliling dalam pikiran nya, hingga ia tidak bisa tertidur lelap walaupun dalam pelukan kekasih nya.
Bisikan-bisikan tersebut dapat berhenti ketika Gendhis telah belajar kata kata yang menjadi lullaby nya tiap malam bersama Kadek, tetangga nya yang juga baru saja menikah dengan pria yang juga asing dengan Bahasa Bali karena ia berasal dari Jakarta, hingga tiap sore, teras depan rumah nya menjadi teras ter ramai se kompleks perumahan karena dipenuhi dengan gelak tawa si orang Jawa dan Jakarta ini yang mengucapkan Bahasa Bali dengan logat aneh nya seperti alien.
Di tahun kedua, Gendhis memulai mimpi buruk nya kembali yaitu mimpi buruk nya yang diliputi kegelisahan dan ketakutannya untuk tidak dapat memenuhi tugas nya sebagai wanita Bali yang harus selalu ada bagi keluarga dan masyarakat di dalam ritual yang ada, hingga ia harus membuat banten dan canang yang sangat asing baginya, bahkan ketika ia berusaha untuk membuat canang di rumah nya, Kadek hanya bisa tertawa terkikik kikik karena ia membuat canang untuk di depan rumah nya layaknya piring yang digunakan orang untuk menarikan tari piring. Tetapi, ia terus berusaha untuk membuat sesaji tersebut hingga pada ujung bulan November tersebut ia sangat bangga karena telah berhasil membuat banten dan canang sendiri tanpa bantuan Kadek, bahkan ia menyebut canang di depan rumah nya sebagai masterpiece nya dan mengalahkan karya seni yang ia pamerkan di galeri galeri ternama di Yogyakarta.
Di tahun ketiga, ketika Gendhis mulai menapaki karier nya kembali sebagai seniman dan vocalist band indie, ia seakan tenggelam di dunia nya kembali karena seakan ia dapat kembali ke dunia yang ia tapaki dahulu di Yogyakarta, dunia dimana ia dapat mengekspresikan diri dengan bebas dengan kanvas dan nyanyian nya. Lambat laun, ia meninggalkan rumah nya untuk ke Denpasar untuk singgah di galeri seni milik temannya untuk melanjutkan mimpi nya untuk dapat berkarya seutuhnya hingga hangat tubuhnya sudah terlepas dari benak suaminya. Ia meninggalkan semua yang ia miliki di Bedugul karena ia sudah jenuh untuk terus ada di keluarga nya dan terikat dengan semua adat istiadat yang ada di sana.
Adi, mai je mulih, tiang iseng (Pulanglah, aku merindukan mu)
Pesan itu yang terus masuk di gawai nya, tak satu pun pesan yang ia balas karena ia sudah muak untuk selalu teikat dengan adat istiadat bahkan telah terhitung satu tahun ia meninggalkan Bedugul dan bertahan hidup dari panggung dan galeri tempat ia berkarya.
Kalender di gawai nya menunjukkan bahwa hari ini adalah hari ulang tahun kekasih nya yang sudah ia tidak hiraukan. Ia acuhkan pengingat tersebut dan tetap memetik dawai gitar dan menuliskan beberapa lirik lagu dan sesekali mengusap usap Jadik, anjing kesayangan nya yang menjadi teman ketika ia kesepian. Lantas, ia pun bersiap untuk menampilkan karya nya di atas panggung dan seusai menampilkan buah pikiran nya di atas panggung entah mengapa ia terbuai dengan nada yang menyambangi telinga nya hingga ia terbungkam karena lirik lagu lagu yang dinyanyikan oleh Nostress tersebut :
Pegang tangan ku
Hentikan tawamu sejenak
Sudah terlalu banyak tuk senang
Sudah saatnya merenung.. dan bersyukur
Indah itu tak selalu ada
Senang itu sementara
Jika senang jangan terlalu
Jika sedih jangan terlalu
Tanpa pikir panjang, sesegera mungkin ia mengemasi gitar beserta barang barang nya di galeri dan memancal gas motor milik Bli Wayan sang kurator galeri tempat ia memamerkan karya nya dan bergegas untuk pergi ke Pura Ulun Danu Bedugul, pura dimana ia dikenalkan pada Sang Hyang Widhi untuk pertama kali nya, tempat ia menemukan jati diri nya kembali, dan merasakan kedamaian.
Dua jam perjalanan yang ia tempuh dari Denpasar tanpa henti tidak membuatnya kepayahan dalam perjalanan. Ia terus melanjutkan perjalanan nya hingga menghiraukan dinginnya atmosfer Bedugul pada saat itu, jalanan yang curam serta berkelok karena dikelilingi pegunungan pun juga tak ia hiraukan karena pikirannya hanya terisi atas penyesalan dan kesedihan nya yang tak terkira karena meninggalkan orang orang yang ia sangat kasihi di Bedugul.
Sampailah ia di depan Danau Bratan yang mengelilingi Pura Ulun Danu, ia menangis karena terbesit pikiran bahwa ia sudah sangat kotor karena telah melakukan salah satu hal yang keji bagi manusia, yaitu melupakan orang orang yang ia kasihi, bahkan ia takut Sang Hyang Widhi murka kepadanya dan ia sangatlah kotor untuk dapat berada di Danau “gunung suci” ini. Tidak hanya itu, ia merasa air danau yang jernih dan arus nya yang tenang bahkan dapat mengalahkan keburukan sifat nya, serta hijau nya pepohonan yang ada di pegunungan dan di sekitar pura pun yang menyejukkan pikirannya juga mengalahkan pikirannya yang sudah kotor bahkan tidak dapat membawa kedamaian bagi dirinya sendiri.
Ia terus melihat gawai nya yang berisikan pesan pesan kerinduan kekasihnya akan hangat tubuh nya dan tertunduk lemas seakan kehilangan daya seketika.Namun seketika tubuhnya yang semula dingin karena angin Pegunungan yang semilir terasa hangat. Selembar kain katun halus menyelimuti tubuh nya dari belakang punggung hingga ia terkejut karena sebelumnya ia hanya seorang diri berada di depan Danau tersebut.
Ia tak berani menoleh karena khayalan nya terbesit pada ketakutan nya akan orang asing, namun suara yang mendesir di telinga nya berkata :
mai je mulih, tiang iseng, aku sudah mengabdikan diri ku di Pura Ulun Danu ini.
Suara yang menyambutku hangat itu adalah suara Komang, pria yang sudah membuat ku luluh hingga menuntun ku ke Sang Hyang Widhi bahkan tetap menjadi rumah ku walaupun ku tinggalkan ia untuk beberapa waktu karena ambisiku. Ia selalu bermekaran ketika sukma ku layu dibuat lelah oleh ambisiku sendiri.
Ia meraih tanganku dan mengajak ku untuk kembali ke Sang Hyang Widhi dengan bersembahyang di Pura Ulun Danu, seketika sukma ku merasa damai kembali dengan mendengar kidung kidung yang ia panjatkan dan diakhiri dengan tetesan air suci yang sejuk, hingga akhirnya tidak hanya di dalam kidung ku panjatkan doa untuk selalu bersama nya namun juga kuucapkan janji ku padanya yang telah mengabdikan diri menjadi penjaga umat dan penjaga sukma ku dari segala keburukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar