Dawai dawai gitar yang ia petik mulai terdengar sumbang ketika lamunan nya melayang kepada masa lalu nya sebagai gadis yang luluh hati nya lalu bersedia tidur satu ranjang hingga akhirnya ia harus melepaskan gelar kebangsawanan nya dan meninggalkan kemewahan yang meliputi raga nya.
Tidak terasa, sudah tiga tahun lamanya ia bermartomofosa dengan ageman nya yang baru, bertolak ke Bedugul dan terlahir kembali sebagai manusia yang menanggalkan adharma dan berbuat dharma pada sesama. Namun, nada nada sumbang mulai terdengar kembali mengingat kepayahannya untuk beradaptasi pada identitas baru nya yang sangat bertolak belakang dengan latar belakang keluarga nya yang memegang erat Budaya Jawa di Yogyakarta, meskipun demikian terselip rasa bahagia karena ia terlepas dari belenggu adat istiadat dan sistem patriarki yang dianut keluarga nya turun temurun dan ia dapat memilih kekasih hatinya atas kehendak sendiri.